Jumat, 01 Juni 2012

Cerpen


CENGKRAMAN SELEBRITAS
Oleh: Yusran Arifin

Sinterclass kita adalah Mick Jagger, kata Penyair Beny Setia dalam sajaknya
yang ditulis tahun 1980-an di majalah Gadis. Realiti kultura dari  analisis yang dikembangkan Beni lewat sajaknya adalah sesuatu yang tidak mempribadi. Akan tetapi  bagian dari kecemasan, kekhawatiran serta kemirisan publik terhadap pergeseran nilai-nilai budaya yang terjadi. Beni hanya jadi alat ucap dari masyarakatnya. Beni menginterpretasikan pergesaran nilai yang tengah berkembang secara analogic, tetapi mampu menjangkau wilayah universal (publik).
       
Bukan sesuatu yang ajaib ketika kemudian gugurnya tokoh-tokoh
panutan yang terjadi dalam literature masyarakat. Nabi Muhammad SAW. yang dipanuti serta empat sahabat yang kemudian menjadi pemegang kepemimpinan berikutnya, adalah tokoh-tokoh tanpa tandingan yang
menjadi inspirasi sekaligus obsesi para pendahulu kita dalam setiap gerak
perjuangannya. Figur agamis  yang mengikutinya mulai terkikis oleh waktu yang menggelombangkan beragam perubahan. Bahkan tokoh-tokoh dari wilayah kulturpun, semisal Semar, Gatotkaca dll. plus dari wilayah politik Soekarno-Hatta tak lagi memberikan kebanggaan untuk dijadikan menu gossip bagi generasi selanjutnya. Si Kabayan, Si Jampang, Si Pitung sampai Si Kancil yang menjadi pengantar tidur kita di
waktu kecil sirna, entah kemana.                                                             
       

Haruskah kita meratapi keadaan seperti ini? atau apa yang mesti diperbuat ketika anak-anak kita pada akhirnya lebih mengenal Dora Emon, Kura-Kura Ninja, Power Rangger, Spider Man, Mell Ghibson, Jet Lee, Madonna, Jhon Bon Jovi, Inul daratista,  Mansur S. Caca Handika, Dewi Persik, Ariel Peterpan, Ian Kasela Raja, Bunga Citra Lestari, Gita Gutawa, dll. Apa lacur jika mereka lantas menjadi idola? Tak ada yang lebih buruk barang kali, selain terinfiltrasi oleh ion-ion negatifnya,  dari sebuah generasi yang kamudian selalu histeris dalam pemberhalaan tokoh-tokoh yang dipanutinya. Dari pada menghargai proses kreatifnya serta perjuangan  hingga mencapai kesuksesannya, anak-anak kita lebih tertarik dengan gaya bicaranya, busananya, model rambutnya, lalu kemudian teradopsikan menjadi gaya hidup.
       
Pemujaan pun berlanjut dengan  menempelkan nama-nama tokoh yang dipujanya di
belakang nama anak-anak kita. Maka tak heran ketika kemudian muncul nama-nama
kolaboratif, semisal Asep Bowie, Asep Lenon, Yadi Murphy, Dede Noris, Ucih
Madonna, Cicih Kandow, dll. dengan alasan yang sangat beragam, karena mungkin
merasa mirip atau agak-agak mirip wajahnya. Tapi apa pun alasan yang menjadi
penyebabnya  yang tak bisa disangkal, semua adalah ekses margin dari pengidolaan itu sendiri.
       
Sebeda apapun alasan yang melatar belakangi pelabelan-pelabelan itu, baik yang menjadi nama-nama orang atau yang menjadi nama benda-benda, adalah tetap ada persamaan yang mutlak, bahwa selebritis begitu kuatnya menghipnose kehidupan kita dan anak-anak kita.  Seperti halnya nama -nama selebritis yang digunakan para pedagang, pengusaha
bordir serta pakaian untuk jenis dagangannya. Dan itu jelas memberi berkah dan sangat menguntungkan secara material. Semisal kerudung Mbak Tutut, yakni kerudung yang pertama kali dipakai oleh putri sulung Soeharto,pernah merajai pasar dan menjadi salah satu penyebab kesuksesan sebagian pengusaha bordir pada ahir tahun 1990-an. Lantas kerudung itupun dinamai kerudung Mbak Tutut. Yang kemudian diabadikan Acep Zam Zam dalam antologi puisinya ( Dongeng Dari Negri Sembako},Negara hancur gara-gara kerudung Mbak Tutut. Dulu di Pasar Yogyakarta sempat populer sebutan baju Oma {Rhoma Irama)untuk baju koko. Lantas, karena Ustad Jefri populer  dan sering tampil dengan baju koko, yakni tahun 2006, baju koko pun ada  jenis baju
koko yang dinamai UJ alias Ustad Jefri. Ahirnya nama-nama selebritis menjadi
tak asing lagi ketika kemudian menjadi nama kerudung, baju koko, mukena alias
rukuh. Hadad Alwy ( Ghamis)  Ineke Koesherawati (kerudung) Krisdayanti, Ayu Azhari,Manohara,  Marshanda (mukena). Bahkan untuk mukena Marshanda, sampai sekarang masih bertahan dan masih diminati pasar.
         
Meski agak sedikit berbeda inspirasinya, tapi secara substantif tetap saja setali tiga uang, yakni ekses dari pengidolaan selebritis itu tadi. Cuma yang membedakan adalah ini diambil dari judul lagu dan judul film. Kerudung jablay (lagu Jablay Titi Kamal) dan
kerudung Ayat-Ayat Cinta ( film Ayat-Ayat Cinta ) produksi Cicalengka Bandung pada
tahun 2008 pernah digemari masyarakat.

Pengidolaan, barangkali bukan sesuatu yang tabu. Jika itu meng-inspirasikan sebuah nilai posotif. Namun jika yang ada malah melahirkan dekadensi, maka itu perlu juga diwaspadai, minimal dicemasi. Seperti kecemasan yang ditulis dalam sajak Beni Setia di atas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita masih memiliki kemampuan untuk itu?
     

Tasikmalaya, 2011

Penulis adalah sastrawan, tinggal ditasikmalaya.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates