Jumat, 01 Juni 2012

Cerpen


DARAH BIRU

Bagiku, matahari bukan  sekedar harapan-harapan, tapi sekaligus ilham. Ia adalah tenaga dan semangat yang terus menyala. Dan ketika  muncul dari balik pegunungan menyibak kabut pagi selalu saja menawarkan gairah kerja yang tak pernah lelah dengan cahayanya yang keemasan. Mungkin matahari semacam bapak dan bumi adalah ibu yang paling tabah dalam derita. Dan aku selalu berusaha  untuk menjadi pewarisnya yang setia. Maka ketika tiap pagi aku berderap mengikuti jalan sepanjang tujuh ratus meter yang membelah pesawahan, berlomba dengan para buruh tani yang kemudian satu persatu  menghilang ditelan kehijauan sawah-sawah. Lalu mereka akan menempuh percintaan dengan gairahnya dalam kerja. Itu adalah bukti bahwa Kami memiliki gairah dan semangat matahari. Kami adalah anak matahari yang selalu akan benderang menyinari, setidaknya, untuk diri sendiri. Dan Kami senantiasa akan setabah bumi.
Perjalanan Kami di pematang sawah ini dengan tujuan yang berbeda. Tapi pada hakikatnya sama. Bahwa kami tengah menyepuh darah Kami. Darah ini adalah netral dan Kami akan mewarnainya dengan prestasi Kami.
Dengan hati yang berbunga, aku akan segera sampai di subuah jalan aspal. Dan aku sejenak akan kembali menengok arah kampungku yang terletak di kaki bukit dengan kehijauannya. Rasa cinta selalu saja tumbuh dan kerinduan selalu akan bergolak bila aku menatap kampungku. Masa kecilku. Papih dan Mamihku juga Adik dan Kaka-kakaku selalu menjelmakan cahaya yang senantiasa menyedot-nyedot sukmaku. Mereka adalah masa lalu dan masa kini. Dan aku tengah berhadapan dengan masa depan di mana bentuk dan warnanya masih samar, bahkan sebagian besar sangat gelap. Dan ketika sebuah motor bebek berhenti di hadapanku, tanpa basa-basi, aku akan langsung duduk di belakang Kang Dadang, seorang pemuda yang selalu setia menungguku. Kang Dadang adalah masa kini dan masa yang akan datang bagiku.
Bila  sewaktu-waktu Kang Dadang ada yang harus dikerjakan dulu, akulah yang harus menunggu jemputannya. Sudah dua tahun kami selalu berangkat bersama. Dan ketika aku sampai di depan sekolahku, maka Kang Dadang akan meninggalkan aku dengan senyum yang teramat indah di hatiku yang selalu saja menjelma taman bunga, dan Kang Dadang akan meneruskan perjalanan menuju kampusnya. Masa es em a, adalah masa yang penuh dengan impian-impian indah. Dan aku telah menyandarkannya di bahu Kang Dadang.
Kang Dadang adalah segalanya bagiku. Ganteng. Pinter. Penuh cita-cita. Dan itu telah saling kami ketahui pada saat bercengkrama bersama, di jalan, di atas motor. Di sawah. Atau di mana saja. Dan yang paling mempesona dari cita-citanya. Ia tengah bermimpi menjadi Bupati. Dan bila itu sering diutarakannya, aku pasti akan menertawakannya. Suatu yang mustahil, pikirku. Walau itu diutarakan dengan bercanda, tapi aku menangkap sekilas kesungguhan hatinya. Matanya yang tajam mengatakan, bahwa ia bukan seorang penakut. Rahangnya yang agak mengembang ke luar, juga dagunya yang tampak kukuh lebih mempertegas keperkasaannya. Dadanya yang bidang, adalah tempat perlindunganku yang akan datang. Dan aku telah merebahkan impianku untuk selalu  berada di sana.
“Suatu saat, aku akan menjadi bagian penting dari pesanggrahan ini.” Kata Kang Dadang sambil mengarahkan telunjuknya. Sebuah pesangrahan yang tidak terlalu besar, tapi cantik. Tempat Bupati berlibur atau beristirahat pada saat panen padi.
“Aku percaya. Tapi, mungkin sekedar jadi penjaga.” Kataku mengejek sambil berlari. Dan Kang Dadang akan mengejarnya sampai aku tersudut di bibir pematang yang tinggi dan bersandar ke bukit. Lalu kami akan bergulungan. Sampai megap-megap. Kami sering datang ke tempat ini, untuk menikmati pemandangan dan keindahan pesangrahan, yang tegak di sebuah bukit, menghadap hamparan sawah yang sangat luas. Sedang halaman belakang bertemu dengan kali yang berjarak terhalang sepetak sawah. Di sebrang kali, tampak sebuah kampung, di mana di pinggir kali tersebut berdiri sebuah mesjid megah yang dikelilingi oleh bangunan pesantren yang berjajar dan melingkar. Dan kalau malam tiba cahaya lampu-lampu akan lebih memperindah keadaannya.
“Suatu saat akulah yang akan memanen padi-padi ini.” Kata Kang Dadang sambil mengendarai bebek bututnya. Dan aku akan menggelitiknya, dengan sedikit cubitan.
“Aku percaya. Tapi mungkin hanya jadi mandornya.” Lalu kami akan tertawa.
“Mestinya kamu bilang amiin. Apa kamu tak bahagia kalau kelak akulah yang akan menikmati padi-padi ini?”
“Pasti, aku pasti sangat bahagia.”
“Nanin, Nanin. Mestinya kamu doakan, agar Kang Dadang jadi Bupati.”
“Sudah lah, Kang! Jangan ngawur gitu. Aku sudah cukup bahagia seperti ini.”
“Tapi kamu mau kan, jadi istri Akang?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, sering jantungku berdebar-debar. Hati mengembang. Dan aku tak perlu menjawab. Cukup aku mempererat pelukanku di punggungnya. Dan kusandarkan kepalaku di sana. Dan itu lebih dari seribu jawaban yang dibutuhkan Kang Dadang.  Lalu dengan kegembiraan yang membuncah Kami menyusuri jalan aspal yang kecil dan membelah pesawahan sepanjang satu kilo meter.
Sawah yang luas ini adalah milik Yayasan Sukamenak. Luas ratusan hektar. Sebelah selatan, dari barat ke timur dibatasi jalan sepanjang seribu meter. Di sebelah timur, dari utara ke selatan di batasi sebuah kali yang panjangnya hampir sama dengan jalan tadi. Lalu sebelah utara dibatasi bukit-bukit dan sedikit perkampungan. Dan apa bila panen tiba, padi-padi ini akan diangkut ke pendopo dan menjadi hak milik Bupati. Begitulah seterusnya, setiap pergantian Bupati, maka berganti pula pemiliknya.
Sawah itu dulu  katanya merupakan milik Dalem, dan sempat disengketakan. Tapi pihak yayasan mengklaim, sawah itu sudah diwakafkan. Di mana hasil padinya diperuntukan bagi para Bupati yang tengah memimpin. Mereka, para penggugat  adalah para keturunan Dalem. Tapi mereka kalah, karena bukti-bukti tidak kuat. Salah satu tokoh penggugatnya, adalah Papih. Bapakku.
Dan Kami akan melewati jembatan gantung yang terbuat dari bambu. Rasa takut saat menyebrang menjadi alasan paling indah untuk lebih mempererat pelukanku. Dan seperti itulah hari-hari kulalui. Hingga pada suatu waktu, ahirnya datang juga sesuatu yang tak pernah aku duga, membuyarkan segala mimpi indah dengan Kang Dadang. 
Adalah Kang Djaya, seorang pemuda yang entah dari mana, tapi katanya masih ada pertalian darah, harus kuterima sebagai calon Suamiku. Aku merasa seolah kepalaku mau pecah. Dunia mendadak gelap. Tapi aku hanya bisa menangis. Aku tak   bisa melawan Papih.  Tak ada seorang pun yang boleh menentang Papih. Sekali pun Mamih. Semua harus tunduk pada keinginan Papih. Dalam hal apapun. Termasuk dalam menentukan pilihan pasangan hidup.
“Lupakan Dadang! Dia tidak sederajat dengan kita. Tapi Djaya sama dengan kita. Keturunan darah biru.”
Lagi-lagi soal darah biru. Kenapa Papih selalu saja mengaitkan persoalan dengan darah biru. Ini-itu ujungnya darah biru. Dari mulai makan, ketawa, pakaian dan segala hal, selalu dikaitkan dengan darah biru. Aku sudah lama merasa muak dengan persoalan darah biru. Aku merasa, seolah darah biru tak lebih dari sebuah penghalang bagi kehidupanku. Aku mersa, darah biru bagai sebuah kutukan saja. Dan sekarang adalah puncaknya. Aku harus melepas cinta dan masa depanku.
Tiba-tiba rasa mual mengaduk-ngaduk perutku dan menekan-nekan dada seperti mau muntah. Aku memang tak bisa melawan secara frontal terhadap kemauan-kemauan Papih. Tapi hatiku tak bisa dibantah. Perlawanan dan penolakan terhadap segala kesimpulan Papih tentang hidup, terutama soal darah biru membuat hatiku berkecamuk dengan penolakan dan kesimpulan-kesimpulanku sendiri.
Hatiku mulai sinis dengan kebanggaan-kebanggaan Papih yang selalu saja membanggakan tentang leluhurnya. Tentang darah birunya. Pikirku, lalu apa hebatnya memiliki darah biru? Apa lagi dengan embel-embel keturunan?  Apa yang bisa ditarik manfaatnya selain kebanggaan semu, kemudian merasa lebih berharga dari orang lain? Apa lagi jika kita tak pernah mengimbanginya dengan torehan sebuah prestasi. Sia-sia saja. Betapa menyedihkan hidup dengan terus-terusan membanggakan leluhur, tanpa status yang lain yang muncul dari kemampuan dirinya.
Betapa mengerikan. Hidup tanpa karya. Lalu merasa hebat karena memiliki darah yang cuma keturunan. Apakah tak pernah terlintas dalam pikirannya? Bahwa leluhur kami yang dibangga-banggakan itu, gelar Dalemnya  merupakan warisan? Atau gelar kehormatan? Aku yakin tidak! Tapi mereka pasti telah berjuang keras untuk mendapatkannya. Bukan dengan ongkang-ongkang kaki lalu menadahkan tangan. Lalu berbangga diri, lalu menepuk dada di setiap kesempatan.  Aku yakin darah biru yang mengalir di tubuhnya, hasil kerja keras. Ia telah menyepuh darahnya dengan mengarungi berbagai rintangan hidup yang panjang.
Jika kebanggan dan penghargaan itu, karena alasan perjuangan dan kerja keras mereka, aku lebih dari setuju. Aku akan wajib berbangga. Dan itulah yang mesti dihargainya. Dijadikan inspirasi untuk perjuangan kita. Bukan karena ke-Dalemannya dan kita enak-enak mendomplengnya. Dalam keadaan kita yang tak berharga, karena tidak memiliki prestasi dalam hidup, apakah leluhur kita yang Dalem itu tidak akan menangis? Ah, mungkin saja mereka mencibir  kita. Mungkin saja, merekamalah akan mengutuk kita sebagai benalu yang romantis, yang hanya akan mengotori kecemerlangan prestasi mereka.
Kepalaku bagai mau meledak. Terasa panas. Aku terhuyung menuju kamar kecil. Kuguyur dengan air hingga basah kuyup.
Ingin rasanya aku berhotbah di tengah kampungku. Sebuah kampung dengan sepuluh rumah yang dihuni oleh kerabatku sendiri. Orang-orang luar menyebutnya, Kampung Aden.  Karena seluruh penghuninnya para raden alias keturunan darah biru.
Kampungku ini berdampingan dengan kampung di mana di dalamnya tinggal Kang Dadang. Kampung para buruh tani yang tiap pagi menyerbu sawah-sawah dengan gairah dan semangat yang menyala-nyala. Dan ini selalu  menjadi inspirasi bagiku.
Sangat kontras dengan kehidupan di kampungku. Di mana penghuninya lebih banyak nganggur, karena kerja merasa akan menjatuhkan martabat kebiruan darahnya. Tapi sebagian ada yang jadi guru. Seperti Papih, yang sekarang telah pensiun lalu menjadi sekdes.
Lambat laun perbedaan mencolok pun terjadi. Rumah-rumah petani yang dulu panggung, kini mulai berganti rumah-rumah gedong. Ekonominya terus meningkat. Anak-anaknya mulai melebarkan profesi. Ada yang jadi pedagang. Pegawai negri. Lalu bermunculan pula beberapa sarjana. Tapi kampungku tak pernah berubah. Malah rumah-rumah yang setengah gedong sebagian ada yang mulai lapuk.  Aku yakin darah Saudara-saudaraku pelan-pelan mulai memucat kebiruannya. Sementara di kampung sebelah, sepertinya tengah menyepuh darahnya untuk menjadi biru dengan deras keringatnya. Dengan kerja kerasnya.
Aku teringat kesaksian Multatuli, yang ditulis oleh Rendra di dalam sajaknya. Kesaksian atas sepak-terjang Adipati Lebak yang bersekutu dengan  Belanda, lalu menindas rakyatnya sendiri demi kemakmuran hidupnya, dan demi mendapatkan penghargaan  Belanda atas upeti-upeti yang diberikannya. Tiba-tiba tubuhku merinding. Bagaimana bila itu juga terjadi kepada leluhurku, para Dalem yang hidup di jaman Belanda? Ooo. Tidak! Itu tidak mungkin. Dan aku berharap, para leluhurku tidak sekejam Adipati Lebak itu. Jika itu terjadi, ingin rasanya aku menyuling darahku dan menumpahkannya. Lalu merebusnya hingga menjadi kering. Tidak! Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi. Para leluhurku pasti para Dalem yang baik dan bijaksan.

Akhirnya, aku  menikah dengan Kang Djaya. Tanpa cinta. Dan aku menjalaninya dengan keraguan. Bisakah kami bahagia? Paling tidak, apakah aku mampu membahagiakannya, jika nanti pengabdianku tidak diimbangi dengan keikhlasan?  Karena hatiku tak pernah ada untuknya? Apalagi jika aku teringat Kang Dadang.  Betapa aku merasa telah menjadi pengkhianat yang tak terampunkan. Aku bagaikan mayat bagi suamiku, karena jiwaku tak pernah ada di dalamnya. Betapa berdosanya saat nanti kami melakukan hubungan, lalu  hati dan pikiranku jauh berlayar bersama Kang Dadang?
                                                          ************************
Lima belas tahun sudah aku menjalani rumah tangga dengan Kang Djaya. Kami menjalaninya dengan biasa-biasa saja. Kang Djaya orangnya cukup baik dan menyenangkan. Penuh perhatian dan pengertian. Tapi tetap saja tak mampu mengubah hatiku untuk mencintainya. Aku melayaninya tak lebih karena sebuah tanggung jawab dan kewajiban saja. Tiga Anak lahir dari hasil pernikahan kami. Dua laki-laki yang cikal dan yang bungsu. Satu  perempuan di tengahnya. Kang Djaya mengajar di es em a. Sedang aku di es de.
Lima belas tahun hidup tanpa cinta? Sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah melewatinya. Apalagi jika hati terus tertambat pada Kang Dadang di mana perjalanan hidupnya selalu aku ketahui tanpa aku pinta. Selalu saja ada teman sekolahku yang menceritakannya. Kang Dadang tinggal di kota dan menjadi dosen di Almamaternya. Aktif di salah satu partai besar. Kemudian terpilih menjadi ketua de pe de. Kemudian ikut mencalonan Dewan dan terpilih dengan suara yang meyakinkan. Katanya pada Pilkada tahun depan ia lolos verifikasi dari partainya. Aku bangga mendenganya. Ternyata ia benar-benar ingin membuktikan cita-citanya. Kang Dadang anak seorang buruh tani dari desa, dengan cita-cita yang kuat dan kerja keras yang pantang menyerah tengah menyepuh darahnya untuk menjadi biru. Biru yang sejati. Bukan biru yang dibelakangnya diembel-embeli keturunan.
Aku jadi teringat leluhurku. Dulu, aku yakin seperti itulah perjuangannya. Mungkin juga orang tuanya lebih rendah dari seorang buruh tani? Ya. Aku dapat menyimpulkan, betapa berharga jika kebiruan itu kitalah yang menyepuhnya. Bukan warisan.

Tasikmalaya,2011


0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates