DARAH
BIRU
Bagiku,
matahari bukan sekedar harapan-harapan,
tapi sekaligus ilham. Ia adalah tenaga dan semangat yang terus menyala. Dan
ketika muncul dari balik pegunungan
menyibak kabut pagi selalu saja menawarkan gairah kerja yang tak pernah lelah
dengan cahayanya yang keemasan. Mungkin matahari semacam bapak dan bumi adalah
ibu yang paling tabah dalam derita. Dan aku selalu berusaha untuk menjadi pewarisnya yang setia. Maka
ketika tiap pagi aku berderap mengikuti jalan sepanjang tujuh ratus meter yang
membelah pesawahan, berlomba dengan para buruh tani yang kemudian satu
persatu menghilang ditelan kehijauan
sawah-sawah. Lalu mereka akan menempuh percintaan dengan gairahnya dalam kerja.
Itu adalah bukti bahwa Kami memiliki gairah dan semangat matahari. Kami adalah
anak matahari yang selalu akan benderang menyinari, setidaknya, untuk diri
sendiri. Dan Kami senantiasa akan setabah bumi.
Perjalanan
Kami di pematang sawah ini dengan tujuan yang berbeda. Tapi pada hakikatnya
sama. Bahwa kami tengah menyepuh darah Kami. Darah ini adalah netral dan Kami
akan mewarnainya dengan prestasi Kami.
Dengan
hati yang berbunga, aku akan segera sampai di subuah jalan aspal. Dan aku
sejenak akan kembali menengok arah kampungku yang terletak di kaki bukit dengan
kehijauannya. Rasa cinta selalu saja tumbuh dan kerinduan selalu akan bergolak
bila aku menatap kampungku. Masa kecilku. Papih dan Mamihku juga Adik dan
Kaka-kakaku selalu menjelmakan cahaya yang senantiasa menyedot-nyedot sukmaku.
Mereka adalah masa lalu dan masa kini. Dan aku tengah berhadapan dengan masa
depan di mana bentuk dan warnanya masih samar, bahkan sebagian besar sangat
gelap. Dan ketika sebuah motor bebek berhenti di hadapanku, tanpa basa-basi,
aku akan langsung duduk di belakang Kang Dadang, seorang pemuda yang selalu
setia menungguku. Kang Dadang adalah masa kini dan masa yang akan datang
bagiku.
Bila sewaktu-waktu Kang Dadang ada yang harus
dikerjakan dulu, akulah yang harus menunggu jemputannya. Sudah dua tahun kami
selalu berangkat bersama. Dan ketika aku sampai di depan sekolahku, maka Kang
Dadang akan meninggalkan aku dengan senyum yang teramat indah di hatiku yang
selalu saja menjelma taman bunga, dan Kang Dadang akan meneruskan perjalanan
menuju kampusnya. Masa es em a, adalah masa yang penuh dengan impian-impian
indah. Dan aku telah menyandarkannya di bahu Kang Dadang.
Kang
Dadang adalah segalanya bagiku. Ganteng. Pinter. Penuh cita-cita. Dan itu telah
saling kami ketahui pada saat bercengkrama bersama, di jalan, di atas motor. Di
sawah. Atau di mana saja. Dan yang paling mempesona dari cita-citanya. Ia
tengah bermimpi menjadi Bupati. Dan bila itu sering diutarakannya, aku pasti
akan menertawakannya. Suatu yang mustahil, pikirku. Walau itu diutarakan dengan
bercanda, tapi aku menangkap sekilas kesungguhan hatinya. Matanya yang tajam
mengatakan, bahwa ia bukan seorang penakut. Rahangnya yang agak mengembang ke
luar, juga dagunya yang tampak kukuh lebih mempertegas keperkasaannya. Dadanya
yang bidang, adalah tempat perlindunganku yang akan datang. Dan aku telah
merebahkan impianku untuk selalu berada
di sana.
“Suatu
saat, aku akan menjadi bagian penting dari pesanggrahan ini.” Kata Kang Dadang
sambil mengarahkan telunjuknya. Sebuah pesangrahan yang tidak terlalu besar,
tapi cantik. Tempat Bupati berlibur atau beristirahat pada saat panen padi.
“Aku
percaya. Tapi, mungkin sekedar jadi penjaga.” Kataku mengejek sambil berlari.
Dan Kang Dadang akan mengejarnya sampai aku tersudut di bibir pematang yang
tinggi dan bersandar ke bukit. Lalu kami akan bergulungan. Sampai megap-megap.
Kami sering datang ke tempat ini, untuk menikmati pemandangan dan keindahan
pesangrahan, yang tegak di sebuah bukit, menghadap hamparan sawah yang sangat
luas. Sedang halaman belakang bertemu dengan kali yang berjarak terhalang
sepetak sawah. Di sebrang kali, tampak sebuah kampung, di mana di pinggir kali
tersebut berdiri sebuah mesjid megah yang dikelilingi oleh bangunan pesantren
yang berjajar dan melingkar. Dan kalau malam tiba cahaya lampu-lampu akan lebih
memperindah keadaannya.
“Suatu
saat akulah yang akan memanen padi-padi ini.” Kata Kang Dadang sambil
mengendarai bebek bututnya. Dan aku akan menggelitiknya, dengan sedikit
cubitan.
“Aku
percaya. Tapi mungkin hanya jadi mandornya.” Lalu kami akan tertawa.
“Mestinya
kamu bilang amiin. Apa kamu tak bahagia kalau kelak akulah yang akan menikmati
padi-padi ini?”
“Pasti,
aku pasti sangat bahagia.”
“Nanin,
Nanin. Mestinya kamu doakan, agar Kang Dadang jadi Bupati.”
“Sudah
lah, Kang! Jangan ngawur gitu. Aku sudah cukup bahagia seperti ini.”
“Tapi
kamu mau kan, jadi istri Akang?”
Mendengar
pertanyaan seperti itu, sering jantungku berdebar-debar. Hati mengembang. Dan
aku tak perlu menjawab. Cukup aku mempererat pelukanku di punggungnya. Dan
kusandarkan kepalaku di sana. Dan itu lebih dari seribu jawaban yang dibutuhkan
Kang Dadang. Lalu dengan kegembiraan
yang membuncah Kami menyusuri jalan aspal yang kecil dan membelah pesawahan
sepanjang satu kilo meter.
Sawah
yang luas ini adalah milik Yayasan Sukamenak. Luas ratusan hektar. Sebelah
selatan, dari barat ke timur dibatasi jalan sepanjang seribu meter. Di sebelah
timur, dari utara ke selatan di batasi sebuah kali yang panjangnya hampir sama
dengan jalan tadi. Lalu sebelah utara dibatasi bukit-bukit dan sedikit
perkampungan. Dan apa bila panen tiba, padi-padi ini akan diangkut ke pendopo
dan menjadi hak milik Bupati. Begitulah seterusnya, setiap pergantian Bupati,
maka berganti pula pemiliknya.
Sawah
itu dulu katanya merupakan milik Dalem,
dan sempat disengketakan. Tapi pihak yayasan mengklaim, sawah itu sudah
diwakafkan. Di mana hasil padinya diperuntukan bagi para Bupati yang tengah
memimpin. Mereka, para penggugat adalah
para keturunan Dalem. Tapi mereka kalah, karena bukti-bukti tidak kuat. Salah
satu tokoh penggugatnya, adalah Papih. Bapakku.
Dan
Kami akan melewati jembatan gantung yang terbuat dari bambu. Rasa takut saat
menyebrang menjadi alasan paling indah untuk lebih mempererat pelukanku. Dan
seperti itulah hari-hari kulalui. Hingga pada suatu waktu, ahirnya datang juga
sesuatu yang tak pernah aku duga, membuyarkan segala mimpi indah dengan Kang
Dadang.
Adalah
Kang Djaya, seorang pemuda yang entah dari mana, tapi katanya masih ada
pertalian darah, harus kuterima sebagai calon Suamiku. Aku merasa seolah
kepalaku mau pecah. Dunia mendadak gelap. Tapi aku hanya bisa menangis. Aku
tak bisa melawan Papih. Tak ada seorang pun yang boleh menentang
Papih. Sekali pun Mamih. Semua harus tunduk pada keinginan Papih. Dalam hal
apapun. Termasuk dalam menentukan pilihan pasangan hidup.
“Lupakan
Dadang! Dia tidak sederajat dengan kita. Tapi Djaya sama dengan kita. Keturunan
darah biru.”
Lagi-lagi
soal darah biru. Kenapa Papih selalu saja mengaitkan persoalan dengan darah
biru. Ini-itu ujungnya darah biru. Dari mulai makan, ketawa, pakaian dan segala
hal, selalu dikaitkan dengan darah biru. Aku sudah lama merasa muak dengan
persoalan darah biru. Aku merasa, seolah darah biru tak lebih dari sebuah
penghalang bagi kehidupanku. Aku mersa, darah biru bagai sebuah kutukan saja.
Dan sekarang adalah puncaknya. Aku harus melepas cinta dan masa depanku.
Tiba-tiba
rasa mual mengaduk-ngaduk perutku dan menekan-nekan dada seperti mau muntah.
Aku memang tak bisa melawan secara frontal terhadap kemauan-kemauan Papih. Tapi
hatiku tak bisa dibantah. Perlawanan dan penolakan terhadap segala kesimpulan
Papih tentang hidup, terutama soal darah biru membuat hatiku berkecamuk dengan
penolakan dan kesimpulan-kesimpulanku sendiri.
Hatiku
mulai sinis dengan kebanggaan-kebanggaan Papih yang selalu saja membanggakan
tentang leluhurnya. Tentang darah birunya. Pikirku, lalu apa hebatnya memiliki
darah biru? Apa lagi dengan embel-embel keturunan? Apa yang bisa ditarik manfaatnya selain
kebanggaan semu, kemudian merasa lebih berharga dari orang lain? Apa lagi jika
kita tak pernah mengimbanginya dengan torehan sebuah prestasi. Sia-sia saja.
Betapa menyedihkan hidup dengan terus-terusan membanggakan leluhur, tanpa
status yang lain yang muncul dari kemampuan dirinya.
Betapa
mengerikan. Hidup tanpa karya. Lalu merasa hebat karena memiliki darah yang
cuma keturunan. Apakah tak pernah terlintas dalam pikirannya? Bahwa leluhur
kami yang dibangga-banggakan itu, gelar Dalemnya merupakan warisan? Atau gelar kehormatan? Aku
yakin tidak! Tapi mereka pasti telah berjuang keras untuk mendapatkannya. Bukan
dengan ongkang-ongkang kaki lalu menadahkan tangan. Lalu berbangga diri, lalu
menepuk dada di setiap kesempatan. Aku
yakin darah biru yang mengalir di tubuhnya, hasil kerja keras. Ia telah
menyepuh darahnya dengan mengarungi berbagai rintangan hidup yang panjang.
Jika
kebanggan dan penghargaan itu, karena alasan perjuangan dan kerja keras mereka,
aku lebih dari setuju. Aku akan wajib berbangga. Dan itulah yang mesti
dihargainya. Dijadikan inspirasi untuk perjuangan kita. Bukan karena ke-Dalemannya
dan kita enak-enak mendomplengnya. Dalam keadaan kita yang tak berharga, karena
tidak memiliki prestasi dalam hidup, apakah leluhur kita yang Dalem itu tidak
akan menangis? Ah, mungkin saja mereka mencibir
kita. Mungkin saja, merekamalah akan mengutuk kita sebagai benalu yang
romantis, yang hanya akan mengotori kecemerlangan prestasi mereka.
Kepalaku
bagai mau meledak. Terasa panas. Aku terhuyung menuju kamar kecil. Kuguyur
dengan air hingga basah kuyup.
Ingin
rasanya aku berhotbah di tengah kampungku. Sebuah kampung dengan sepuluh rumah
yang dihuni oleh kerabatku sendiri. Orang-orang luar menyebutnya, Kampung
Aden. Karena seluruh penghuninnya para
raden alias keturunan darah biru.
Kampungku
ini berdampingan dengan kampung di mana di dalamnya tinggal Kang Dadang.
Kampung para buruh tani yang tiap pagi menyerbu sawah-sawah dengan gairah dan
semangat yang menyala-nyala. Dan ini selalu
menjadi inspirasi bagiku.
Sangat
kontras dengan kehidupan di kampungku. Di mana penghuninya lebih banyak
nganggur, karena kerja merasa akan menjatuhkan martabat kebiruan darahnya. Tapi
sebagian ada yang jadi guru. Seperti Papih, yang sekarang telah pensiun lalu
menjadi sekdes.
Lambat
laun perbedaan mencolok pun terjadi. Rumah-rumah petani yang dulu panggung,
kini mulai berganti rumah-rumah gedong. Ekonominya terus meningkat.
Anak-anaknya mulai melebarkan profesi. Ada yang jadi pedagang. Pegawai negri.
Lalu bermunculan pula beberapa sarjana. Tapi kampungku tak pernah berubah. Malah
rumah-rumah yang setengah gedong sebagian ada yang mulai lapuk. Aku yakin darah Saudara-saudaraku pelan-pelan
mulai memucat kebiruannya. Sementara di kampung sebelah, sepertinya tengah
menyepuh darahnya untuk menjadi biru dengan deras keringatnya. Dengan kerja
kerasnya.
Aku
teringat kesaksian Multatuli, yang ditulis oleh Rendra di dalam sajaknya.
Kesaksian atas sepak-terjang Adipati Lebak yang bersekutu dengan Belanda, lalu menindas rakyatnya sendiri demi
kemakmuran hidupnya, dan demi mendapatkan penghargaan Belanda atas upeti-upeti yang diberikannya.
Tiba-tiba tubuhku merinding. Bagaimana bila itu juga terjadi kepada leluhurku,
para Dalem yang hidup di jaman Belanda? Ooo. Tidak! Itu tidak mungkin. Dan aku
berharap, para leluhurku tidak sekejam Adipati Lebak itu. Jika itu terjadi,
ingin rasanya aku menyuling darahku dan menumpahkannya. Lalu merebusnya hingga
menjadi kering. Tidak! Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi. Para leluhurku
pasti para Dalem yang baik dan bijaksan.
Akhirnya,
aku menikah dengan Kang Djaya. Tanpa
cinta. Dan aku menjalaninya dengan keraguan. Bisakah kami bahagia? Paling
tidak, apakah aku mampu membahagiakannya, jika nanti pengabdianku tidak
diimbangi dengan keikhlasan? Karena
hatiku tak pernah ada untuknya? Apalagi jika aku teringat Kang Dadang. Betapa aku merasa telah menjadi pengkhianat
yang tak terampunkan. Aku bagaikan mayat bagi suamiku, karena jiwaku tak pernah
ada di dalamnya. Betapa berdosanya saat nanti kami melakukan hubungan,
lalu hati dan pikiranku jauh berlayar
bersama Kang Dadang?
************************
Lima
belas tahun sudah aku menjalani rumah tangga dengan Kang Djaya. Kami
menjalaninya dengan biasa-biasa saja. Kang Djaya orangnya cukup baik dan
menyenangkan. Penuh perhatian dan pengertian. Tapi tetap saja tak mampu
mengubah hatiku untuk mencintainya. Aku melayaninya tak lebih karena sebuah
tanggung jawab dan kewajiban saja. Tiga Anak lahir dari hasil pernikahan kami.
Dua laki-laki yang cikal dan yang bungsu. Satu
perempuan di tengahnya. Kang Djaya mengajar di es em a. Sedang aku di es
de.
Lima
belas tahun hidup tanpa cinta? Sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah
melewatinya. Apalagi jika hati terus tertambat pada Kang Dadang di mana
perjalanan hidupnya selalu aku ketahui tanpa aku pinta. Selalu saja ada teman
sekolahku yang menceritakannya. Kang Dadang tinggal di kota dan menjadi dosen
di Almamaternya. Aktif di salah satu partai besar. Kemudian terpilih menjadi
ketua de pe de. Kemudian ikut mencalonan Dewan dan terpilih dengan suara yang
meyakinkan. Katanya pada Pilkada tahun depan ia lolos verifikasi dari
partainya. Aku bangga mendenganya. Ternyata ia benar-benar ingin membuktikan
cita-citanya. Kang Dadang anak seorang buruh tani dari desa, dengan cita-cita
yang kuat dan kerja keras yang pantang menyerah tengah menyepuh darahnya untuk
menjadi biru. Biru yang sejati. Bukan biru yang dibelakangnya diembel-embeli
keturunan.
Aku
jadi teringat leluhurku. Dulu, aku yakin seperti itulah perjuangannya. Mungkin
juga orang tuanya lebih rendah dari seorang buruh tani? Ya. Aku dapat
menyimpulkan, betapa berharga jika kebiruan itu kitalah yang menyepuhnya. Bukan
warisan.
Tasikmalaya,2011
0 komentar:
Posting Komentar