Upaya
Memberantas Pencucian Uang
(MONEY
LAUNDERING)
1. PENDAHULUAN
Istilah money laundering diterjemahkan dengan
pencucian uang. Pemicu dari tindak
pidana pencucian uang sebenarnya adalah suatu tindak pidana atau
aktivitas kriminal, seperti perdagangan gelap narkotika, korupsi dan penyuapan.
Kegiatan money laundering ini
memungkinkan para pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan atau mengaburkan
asal-usul sebenarnya dari suatu dana atau uang hasil tindak pidana yang
dilakukan.
Melalui
kegiatan ini pula para pelaku akhirnya dapat menikmati dan menggunakan hasil
tindak pidananya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang
sah/legal dan selanjutnya mengembangkan lagi tindak pidana yang
dilakukannya. Dengan semakin berkembangnya
hasil tindak pidana dan tindak pidana itu sendiri, mereka dapat mempunyai
pengaruh yang kuat di bidang ekonomi atau politik yang sudah tentu dapat
merugikan orang banyak.
Michael
Camdessus, mantan Managing Director
International Monetary Fund memperkirakan volume dari cross-border money
laundering sekitar dua sampai lima persen dari Gross Domestic Product dunia
yang diperkirakan mendekati USD 600 milliar.
Sejalan
dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini bank
telah menjadi sarana utama untuk
kegiatan money laundering dikarenakan sektor inilah yang banyak menawarkan
jasa-jasa dan instruments dalam lalu lintas keuangan, yang akan digunakan untuk
menyembunyikan/menyamarkan asal-usul
suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan maka melalui sistem perbankan
dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara
dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh
perbankan. Melalui mekanisme ini pula dana hasil kejahatan bergerak dari satu
negara ke negara lain yang belum ditopang oleh sistem hukum yang kuat untuk
menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan
ketentuan rahasia bank secara sangat ketat.
Di
berbagai negara, seperti di negara-negara maju masalah money laundering ini
sudah diatur dalam undang-undang yang menyatakan perbuatan ini sebagai tindak
pidana dan menghukum para pelakunya.
Bahkan di Amerika Serikat, pada tanggal 5 Februari 2001 dikeluarkan Report on Correspondent Banking “A Gateway to
Money Laundering” oleh US Senate Permanent Sub-Committee on Investigation yang
menyimpulkan bahwa US correspondent
banking telah memberikan/menyediakan jalan atau membukakan pintu gerbang
(gateway) bagi perbankan luar negeri dan kliennya yang terlibat tindakan
criminal untuk melakukan pencucian uang di Amerika Serikat.
Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, maka permasalahan yang akan ditinjau dalam
makalah
ini adalah:
1.
Pengertian
dan mekanisme kegiatan pencucian uang;
2.
Bagaimana
peranan bank dalam mencegah kegiatan pencucian uang;
3.
Apa
peranan Pemerintah RI dan Bank Indonesia dalam menanggulangi pencucian uang;
4.
Bagaimana
dampak keberadaan Undang-undang itu dan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, terutama bagi industri perbankan ?
2. PENGERTIAN DAN
MEKANISME KEGIATAN PENCUCIAN UANG
Istilah
money laundering telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan
oleh organisasi tindak pidana “mafia” melalui pembelian perusahaan-perusahaan
pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut
sebagai tempat “pencucian uang” yang dihasilkan dari bisnis illegal seperti
perjudian, pelacuran, dan perdagangan minum keras.
Dalam
Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sbb :
“Term
used to describe investment or other transfer of money flowing from
racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate
channels so that its original source cannot be traced”
Dalam
perkembangan berikutnya pengertian money
laundering dimuat dalam berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan
oleh beberapa negara dan organisasi internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di
seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam the United Nation Convention
Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988
yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1997. Secara lengkap pengertian money laundering
tersebut adalah :
“The
convention or transfer of property, knowing that such property is derived from
any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in
such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the
illicit of the property or of assisting any person who is involved in the
commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of
his action; or The concealment or disguise of the true nature, source,
location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of
property, knowing that such property is derived from a serious (indictable)
offence or offences or from an act of participation in such an offence or
offences.”
Secara
umum, money laundering merupakan metode untuk menyembunyikan,
memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan
organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika
dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money
laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset
(pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau disembunyikan asal-usulnya sehingga
dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang
ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan
yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi asset keuangan
yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.
Kegiatan
pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya
kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri
tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering dan
integration Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan
fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke
negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan
uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan
penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek
atau melalui rela estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam
mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.
Layering
diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas
kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal
ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram”
tersebut. Layering dapat pula dilakukan
melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan
memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
Adapun integration yaitu upaya untuk menetapkan
suatu landasan sebagai suatu ‘legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan.
Disini uang yang di’cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam
kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan
aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry.
Pada tahap ini uang yang telah di-laundry dimasukan kembali ke dalam sirkulasi
dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
3. PERANAN BANK DALAM MENCEGAH KEGIATAN
PENCUCIAN UANG
Berdasarkan
report on Correspondent Banking “A Gateway to Money Laundering” yang
dikeluarkan oleh US Senate Permanent Sub-Committee on Investigation perbankan AS dibatasi dalam pembukaan
hubungan koresponden dengan shell banks;
mengakhiri hubungan koresponden dengan high risk foreign banks khususnya shell
banks; mengidentifikasi offshore banks dan bank-bank di negara lain yang
memiliki pengawasan yang lemah, control anti money laundering yang lemah dan
kerahasiaan bank yang ketat. Rekomendasi ini tentunya dapat mempengaruhi
bank-bank di Indonesia yang melakukan hubungan korespondensi dengan bank di AS.
Berkenaan
dengan hal tersebut sangat penting bagi perbankan di Indonesia untuk melakukan
pencegahan kegiatan pencucian uang. Kegiatan kriminal khususnya tindak pidana
money laundering dapat dikatakan sebagai ancaman eksternal terhadap bank. Dalam
hal ini, cara terbaik bagi bank untuk melindungi diri dari ancaman tersebut
adalah berupaya memahami dan mengenal sebaik mungkin setiap nasabahnya berikut
kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh nasabah dimaksud yang berhubungan
dengan aktivitas rekeningnya. Cara ini akan menjadi perisai utama bagi bank
untuk mencegah agar bank jangan sampai dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan
yang berkedok sebagai nasabah untuk menjalankan kegiatan pencucian uang. Konsep
inilah yang menjadi dasar dari Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer).
Prinsip
KYC yang kurang sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan
risiko perbankan yang terkait dengan penilaian masyarakat, nasabah atau mitra
transaksi bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu risiko reputasi, risiko
operasional, risiko hukum, dan risiko konsentrasi
Risiko
reputasi berhubungan dengan hal-hal yang berpotensi mempengaruhi penilaian
masyarakat terhadap praktek-praktek yang dijalankan oleh suatu bank yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap integritas bank yang
bersangkutan. Bank sangat rentan terhadap risiko reputasi karena ia merupakan
target atau sarana utama bagi aktivitas kejahatan yang dapat dilakukan oleh nasabah.
Risiko
operasional merupakan risiko kerugian yang secara langsung atau tidak langsung
bersumber dari internal atau eksternal bank. Dalam konteks KYC, risiko ini
berhubungan dengan penerapan operasional perbankan, pengawasan internal, dan due diligence yang kurang memadai.
Risiko
hukum berkaitan dengan kemungkinan bank menjadi target pengenaan sanksi karena
tidak mematuhi standar KYC dan gagal melaksanakan due diligence yang diperlukan terhadap
nasabah. Dalam hal ini bank dapat dikenakan denda atau sanksi lainnya oleh
otoritas pengawas bank atau bahkan dikenakan pertanggungjawaban pidana oleh
pihak yang berwajib.
Penyelesaian
masalah melalui pengadilan dapat menimbulkan implikasi biaya yang sangat besar
bagi bank sehingga mempengaruhi bisnis perbankan yang bersangkutan. Risiko
konsentrasi terkait dengan sisi aktiva dan pasiva bank. Sebagaimana diketahui,
dalam praktek pengawasan, pengawas bank
tidak hanya berkepentingan dengan
sistem informasi untuk mengidentifikasi konsentrasi kredit yang
dijalankan oleh bank, tetapi juga penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank
dalam menyalurkan kredit terhadap seorang atau group kreditur. Tanpa mengenal
identitas nasabah secara pasti dan memahami hubungan antara nasabah yang satu
dan nasabah-nasabah lainnya, sulit bagi bank untuk mengatasi risiko konsentrasi
dimaksud. Sementara itu di sisi pasiva,
risiko konsentrasi berhubungan dengan risiko dana khususnya dalam hal terjadi
penarikan secara tiba-tiba dalam jumlah besar oleh nasabah yang berakibat pada
likuiditas bank yang bersangkutan. Untuk
ini bank perlu melakukan analisa terhadap adanya konsentrasi simpanan, memahami
karakteristik simpanan termasuk identitas deposan dan hal-hal apa saja yang
dapat menghubungkan deposan tersebut dengan simpanan deposan lainnya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC terutama adalah untuk melindungi
reputasi bank. Prinsip KYC juga dapat memfasilitasi kepatuhan bank terhadap
ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku sebagai bagian dari prinsip
kehati-hatian dalam praktek perbankan yang sehat. Dalam hal ini pada saat bank
menarik nasabahnya agar menggunakan jasa bank yang bersangkutan, diharapkan
setiap transaksi yang dijalankan oleh nasabah melalui bank tersebut sejalan
dengan praktek perbankan yang sehat dan tidak bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku. Selanjutnya Prinsip KYC dapat melindungi bank agar tidak
dimanfaatkan oleh nasabah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang illegal atau
bank tidak dijadikan sasaran dari kejahatan.
Dalam hal ini, dengan diterapkannya prinsip KYC, diharapkan bank dapat
melakukan identifikasi secara dini terhadap nasabah dan setiap
aktivitas/transaksi yang dijalankan oleh nasabah. Dengan demikian, sejak awal
terjadinya hubungan antara bank dan nasabahnya, bank tidak hanya mengetahui
hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh nasabahnya tetapi juga dapat mencegah
terjadinya transaksi-transaksi melalui perbankan yang bersifat illegal
Di
samping itu, UU No. 15 Tahun 2002
mewajibkan penyedia jasa keuangan
(termasuk bank) untuk menyampaikan
laporan transaksi yang mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp500.000.000.—(lima ratus juta rupiah) atau
lebih (Pasal 13). Dengan laporan ini
diharapkan dapat dideteksi adanya perbuatan placement,
layering dan integration.
4. PERANAN
PEMERINTAH INDONESIA DAN BANK INDONESIA DALAM
MENANGGULANGI
KEGIATAN PENCUCIAN UANG
4.1. Peranan
Pemerintah RI
Pencegahan
dari pemberantasan kegiatan money
laundering dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan
pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya
pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanat PBB
dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in
Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi
oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997.
Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara
penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu
tindak pidana dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengindentifikasikan,
melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.
Secara
umum ada beberapa alasan mengapa money
laundering diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana.
Pertama, money laundering karena
pengaruhnya pada system keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi
perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan
sumber daya dan dana. Dengan adanya money laundering sumber daya dan dana banyak
digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat, di
samping itu dana-dana banyak yang kurang dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena uang hasil tindak
pidana terutama diinvestasikan pada negara-negara yang dirasakan aman untuk
mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak pidana ini dapat saja
beralih dari suatu negara yang perekonomiannya baik ke negara yang
perekonomiannya kurang baik. Karena pengaruh negatifnya pada pasar finansial
dan dampaknya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan
internasional, money laundering dapat
mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian internasional dan tindak pidana
yang terorganisir yang melakukan pencucian uang dapat juga membuat
ketidakstabilan pada ekonomi nasional.
Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga mungkin juga
merupakan akibat negatif dari pencucian uang.
Dengan berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa money laundering
dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
Kedua, dengan ditetapkannya money
laundering sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak
hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadangkala sulit untuk disita,
misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindahtangankan kepada pihak
ketiga. Dengan cara ini pelarian uang
hasil tindak pidana dapat dicegah.
Dengan demikian pemberantasan tindak pidana sudah beralih orientasinya
dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Di banyak negara dengan menyatakan money
laundering sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk
mempidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.
Ketiga, dengan dinyatakan money
laundering sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistem pelaporan transaksi
dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini lebih
memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai kepada
tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.
Tokohtokoh ini sulit dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka
tidak kelihatan pada pelaksanaan suatu tindak pidana, tetapi banyak menikmati
hasil-hasil tindak pidana tersebut.
Dalam
laporan tahun 2000, Indonesia dimasukkan kedalam major laundering countries bersama empat
puluh satu negara lainnya oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Mungkin saja laporan itu benar, karena
beberapa alasan.
Pertama, selama ini, pada waktu orang menyimpan uangnya di bank
tidak pernah ditanyakan asal usulnya.
Kedua, Indonesia menganut sistem
devisa bebas dengan perekonomian yang terbuka.
Dalam sistem devisa bebas siapa saja boleh memiliki devisa,
menggunakannya untuk kegiatan apa saja dan tidak ada kewajiban untuk menjualnya
kepada negara atau bank sentral.
Ketiga, ketentuan rahasia bank di
Indonesia cukup ketat dengan pengecualian yang bersifat terbatas (limitatif).
Keempat,
terdapat kondisi yang menunjang yaitu adanya
saving investment gap, yang mengakibatkan Indonesia memerlukan banyak
pinjaman dana dari luar. Kelima, dengan
adanya tindakan yang keras dari Ameriksa Serikat untuk memberantas money laundering di negaranya dan negara
tetangganya, antara lain negara-negara Amerika Selatan terdapat kemungkinan
uang hasil tindak pidana, seperti hasil penjualan narkotika lari ke Indonesia
untuk dicuci.
Di
samping itu, Indonesia bersama-sama sembilan belas negara lainnya, antara lain
Filipina dan Myanmar sekarang sudah dimasukkan dalam daftar Non-Cooperative
Countries and Territories (NCCT) oleh Financial Actions Task Force on Money
Laundering (FATF) yang bersidang di Paris pada bulan Juni 2001. FATF ini
beranggotakan 29 negara-negara maju.
Salah satu penyebab utama Indonesia dimasukkan dalam NCCT adalah karena
Indonesia belum memiliki UU yang menyatakan money laundering sebagai tindak
pidana. Sekarang walaupun Indonesia
sudah memiliki Undang-undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sejak April 2002, FATF dalam sidangnya pada
bulan Juni 2002 masih belum mengeluarkan
Indonesia dari NCCTs list.
FATF
masih menganggap Undang-undang tersebut masih memiliki kekurangan yang dapat
menghambat upaya pencegahan dan
pemberantasan pencuaian uang oleh
Indonesia dan kerjasama internasional.
Mengingat pendekatan yang dilakukan oleh FATF ini merupakan “punitive approach”, maka terdapat
kemungkinan Indonesia akan dikenakan sanksi oleh anggota FATF apabila
rezim money laundering di Indonesia
tidak ada kemajuan yang berarti. Sanksi itu dapat berupa hambatan terhadap
transaksi perbankan seperti transfer, L/C, pinjaman luar negeri atau seluruh
transaksi dengan pihak Indonesia dianggap merupakan transaksi yang mencurigakan
(suspicious transaction). Kalau tidak
salah pada waktu yang lalu salah satu bank nasional kesulitan untuk membuka
kantor cabang di Amerika
Serikat,
karena Indonesia tidak memiliki UU Money Laundering. Sebagai contoh lain, Marshall Island yang
dicantumkan dalam NCCT sejak tahun 2000 mengakibatkan ada kontrak antara
banknya dengan bank di luar negeri dibatalkan. Menurut informsi dari Sekretariat
Asia Pacific Group on Money Laundering dimana Indonesia menjadi anggota,
walaupun Indonesia masih berada pada NCCTs list, tindakan balasan tidak akan dikenakan
terhadap Indonesia, karena sudah ada upaya yang cukup signifikan dalam pemberantasan tindak pidana
pencucian uang. Tampaknya Indonesia diharapkan untuk menyempurnakan rezim money
laundering di Indonesia terutama dalam
pelaksanaan Undang-undang tindak pidana pencucian uang.
Di
samping itu, sejalan dengan FATF yang terkenal dengan forty recomendations
untuk memberantas money laundering,
Basle Committee on Banking Supervision juga merekomendasikan agar supaya system
perbankan tidak dipergunakan sebagai sarana tindak pidana atau sarana pencucian
uang, maka sebaiknya bank harus menerapkan prinsip Know Your Customer dengan baik disertai
dengan sistem pelaporan yang memadai.
Basle Committee menyadari bahwa pada money laundering melekat beberapa
risiko, yaitu risiko reputasi, risiko yuridis, risiko operasional dan risiko
konsentrasi sebagaimana telah diuraikan di atas.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, sudah sewajarnyalah Indonesia memiliki UU Money Laundering dan melaksanakannya
dengankosekwen, sehingga kepentingan Indonesia terjamin lebih baik dan dalam
pergaulan internasional dapat diterima dengan baik. Hal ini lebih dibutuhkan lagi agar pemulihan
krisis ekonomi di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
UU
Tindak Pidana Pencucian Uang yang sudah disetujui oleh DPR pada tanggal 25
Maret yang lalu dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 17 April 2002, terdiri
dari sepuluh bab yang terinci dalam 46 pasal. Adapun pokok-pokok yang diatur
dalam UU dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :
a.
Hasil
tindak pidana yaitu harta kekayaan yang berjumlah Rp. 500.000.000,00 atau lebih
atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan korupsi; penyuapan; penyelundupan barang; penyelundupan tenaga kerja;
penyelundupan imigran; perbankan;
narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita dan anak; perdagangan
gelap senjata; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan yang
dilakukan di wilayah negara RI atau di luar wilayah Negara RI dan kejahatan
tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
b.
Cakupan
tindak pidana pencucian uang yaitu menempatkan, mentransfer, membayarkan atau
membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan harta kekayaan hasil
tindak pidana baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain, atau membawa
ke luar negeri, menukarkan atau menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Termasuk dalam cakupan tindak pidana pencucian uang adalah setiap orang yang
(secara pasif) menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Ancaman pidana bagi tindak pidana pencucian
uang di atas adalah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15
tahun, dan denda paling sedikit Rp 5 milyar dan paling banyak Rp 15 milyar.
c.
Tindak
pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang yaitu:
1)
penyedia
jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan
dikenakan ancaman pidana berupa denda minimum Rp. 250 juta dan maksimum Rp. 1
milyar.
2)
Setiap
orang yang tidak melaporkan pembawaan uang tunai dalam Rupiah sejumlah Rp. 100
juta atau lebih ke dalam atau ke luar wilayah RI diancam dengan pidana denda
minimum Rp. 100 juta dan maksimum Rp.300 juta.
3)
PPATK,
penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau pihak lain yang bersangkutan dengan
perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar larangan
menyebut identitas pelapor diancam dengan pidana penjara minimum 1 tahun dan
maksimum 3 tahun.
d.
Tindak
pidana pencucian uang oleh korporasi.
e.
Pelaporan :
1)
Pelaporan
transaksi keuangan :
-
penyedia
jasa keuangan wajib melaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) yaitu transaksi yang mencurigakan; transaksi tunai dalam
jumlah kumulatif Rp. 500 juta atau lebih.
-
kewajiban
pelaporan tersebut tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan, yakni
transaksi antarbank, transaksi dengan
7Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji/pensiun, dan
transaksi lainnya yang disetujui oleh PPATK untuk dikecualikan.
-
Pelaksanaan
kewajiban pelaporan tersebut oleh penyedia jasa keuangan/bank dikecualikan dari ketentuan rahasia bank dan
tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana.
2)
Pelaporan
pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah RI
-
Setiap
orang yang membawa uang tunai sebesar Rp100 juta atau lebih ke dalam atau ke
luar wilayah RI wajib melaporkan kepada Dirjen Bea Cukai.
-
Dirjen
Bea Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK apabila terdapat pelanggaran atas
kewajiban pelaporan tersebut.
3)
Identitas
nasabah
-
Setiap
orang yang melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan wajib
memberikan identitas dan dokumen pendukung secara lengkap.
-
Penyedia
Jasa Keuangan wajib menyimpan catatan
dan dokumen pendukung identitas pengguna jasa keuangan s.d. 5 tahun sejak
berakhirnya hubungan usaha dengan ybs.
f.
Tugas
dan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang
merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
serta bertanggung jawab kepada Presiden.
g.
Penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksaan di Pengadilan
dengan menggunakan system pembuktian
terbalik.
h.
Perlindungan
bagi pelapor dan saksi
i.
Kerjasama
internasional
j.
Ketentuan
Peralihan :
1)
PPATK
mulai melaksanakan fungsinya paling lambat 1,5 tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan;
2)
Sebelum
PPATK mulai melaksanakan fungsinya, tugas dan kewenangan PPATK khusus menyangkut Penyedia Jasa
Keuangan berupa bank, dilaksanakan oleh
Bank Indonesia sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia.
4.2.1 Peranan Bank Indonesia
Terdapat
beberapa ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung
atau tidak langsung dapat mencegah, mengurangi atau memberantas kegiatan money
laundering secara administratif. Khusus ketentuan BI yang dikeluarkan untuk
mencegah kegiatan pencucian uang yang sejalan dengan rekomendasi dari FATF dan
Basle Committee on Banking Supervision adalah Peraturan Bank Indonesia No.
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.
3/23/PBI/2001 tentang Perubahan Atas PBI
No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) yang disempurnakan denganPBI No.3/23/PBI/2001 tanggal 13
Desember 2001.
PBI tentang Know Your Customer yang pertama kali dikeluarkan tanggal 18 Juni
2001 ini disusun dalam rangka mengisi kekosongan peraturan selama RUU tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang masih dalam tahap pembahasan di DPR. PBI ini disamping untuk
memenuhi prinsip kelima belas dari dua puluh lima Core Principle for Effective
Banking Supervision juga dimaksudkan untuk memenuhi rekomendasi FATF.
Diharapkan dengan adanya PBI ini FATF dapat melihat wujud keseriusan Pemerintah
RI khususnya sektor perbankan Indonesia untuk berpartisipasi dalam komitmen
internasional memerangi kegiatan pencucian uang. Disamping itu awalnya PBI ini
disusun juga untuk dapat menyelamatkan RI dari pengkategorian sebagai Non
Cooperative Countries and Territories
(NCCTs) dalam pencegahan kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh
FATF. Namun mengingat Indonesia memenuhi beberapa kriteria dari 25 kriteria
pengkategorian NCCTs, termasuk belum adanya UU tentang pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, maka pada tanggal 22 Juni 2001 Indonesia dinyatakan
sebagai NCCTs.
Prinsip
KYC adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui
identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap
transaksi yang mencurigakan. Pokok-pokok yang diatur dalam PBI ini sebagian
besar mengakomodir butir-butir rekomendasi dari Basel Committee on Banking
Supervision dalam Core Principles For Effective Banking Supervision bahwa
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan faktor yang penting dalam
melindungi kesehatan bank, serta memperhatikan pula rekomendasi FATF bahwa
prinsip dimaksud merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan
sebagai sarana maupun sasaran kejahatan money laundering.
BI
juga telah mengeluarkan SE Ekstern No. 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001
kepada semua bank perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
yang menyampaikan pedoman standar penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang
merupakan acuan standar minimum yang wajib dipenuhi oleh Bank dalam menyusun
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Adapun
materi muatan yang diatur dalam PBI ini, al mencakup:
-
Kewajiban
bank untuk memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, identifikasi
Nasabah, pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah, serta manajemen
risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Kewajiban ini
termasuk pula apabila calon nasabah bertindak sebagai beneficial owner.
-
Pembentukan
unit kerja khusus atau penunjukkan pejabat bank yang bertanggung jawab atas
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
-
Larangan
bank untuk melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah yang tidak memenuhi
ketentuan mengenai kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah.
-
Kewajiban
bank menatausahakan dokumen mengenai identifikasi nasabah dalam jangka waktu 5
tahun sejak nasabah menutup rekening dibank, serta melakukan pengkinian data.
-
Kewajiban
bank memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa,
memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik
transaksi yang dilakukan nasabah.
-
Kewajiban
bank untuk memelihara profil nasabah.
-
Kewajiban
bank untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada Bank Indonesia kepada
BI selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah diketahui oleh bank.
-
Penerapan
Prinsip Pengenalan Nasabah pada kantor bank di luar negeri bagi bank yang
berbadan hukum Indonesia.
-
Pengecualian
PBI ini bagi walk in customer (nasabah
yang tidak mempunyai rekening di bank) sepanjang nilai transaksi yang dilakukan
tidak melebihi Rp. 100.000.000,00 atau nilai yang setara dengan itu.
-
Kewajiban
bank untuk menyusun kebijakan dan prosedur
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dituangkan dalam Pedoman
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dengan mengacu kepada Pedoman
Standar dimaksud.
-
Kewajiban
bank untuk menerapkan kebijakan mengenal nasabah bagi nasabah baru berdasarkan
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, sejak ditetapkannya
pedoman dimaksud.
-
Kewajiban
bank untuk melaksanakan program pelatihan kepada karyawan Bank mengenai
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
-
Pengenaan
sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 ayat 2 UU Perbankan bagi bank yang
melanggar PBI ini.
Dalam
kaitan ini, perlu dipikirkan upaya untuk memberlakukan ketentuan KYC ini bagi
Bank Perkreditan Rakyat.
4.2.2. Kendala Yang Dihadapi BI
Dan Perbankan Indonesia Dalam Rangka Penerapan
UU No. 15 Tahun 2002
Berkaitan
dengan keluarnya UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
yaitu dalam Ketentuan Peralihan disebutkan bahwa sebelum Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaksanakan fungsinya, sebagian tugas dan kewenangan PPATK khusus menyangkut
penyedia jasa keuangan yang berbentuk bank dilaksanakan oleh BI sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia. Adapun tugas dan kewenangan PPATK yang diambil oleh
Bank Indonesia, antara lain, menerima, menganalisis dan mengevaluasi laporan
transaksi yang mencurigakan dari bank.
Kewajiban pelaporan transaksi yang mencurigakan oleh bank kepada Bank
Indonesia sebelumnya telah diatur dalam PBI No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah. Adanya kewajiban bank dimaksud tentunya membutuhkan
dukungan sistem teknologi dan informasi yang memadai. Mengingat bank
berkewajiban memantau setiap transaksi nasabah yang disesuaikan dengan
karakteristik dan profil nasabah. Disamping itu sistem informasi yang dimiliki
harus dapat memungkinkan bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual
transaction), apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau BI
maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. Hal-hal yang termasuk dalam
penelusuran transaksi antara lain adalah penelusuran atas identitas nasabah,
identitas mitra transaksi nasabah, instrumen transaksi, tanggal transaksi,
jumlah dan denominasi transaksi dan sumber dana yang digunakan untuk transaksi.
Dukungan sistem dan teknologi informasi seperti ini tentunya membutuhkan
investasi atau biaya yang besar. Idealnya seperti di negara lain, misalnya
Austrac di Australia, memiliki sistem pelaporan yang berhubungan dengan
bank.
Disamping
itu BI yang mempunyai kewajiban menerima laporan transaksi yang mencurigakan
diharuskan mengevaluasi dan menganalisis apakah laporan dimaksud memang
merupakan transaksi yang mencurigakan sehingga dapat diteruskan kepada penegak
hukum. Adanya biaya yang besar demikian
tentunya sangat memberatkan bank-bank, khususnya dalam kondisi saat ini dimana
perbankan Indonesia dihadapkan pada permasalahan restrukturisasi perbankan.
Dengan demikian biaya yang sangat besar
dalam membangun sistem dan tekonologi bank bank dan BI merupakan kendala utama
dalam penerapan UU No.15 tahun 2002. Berdasarkan hasil pertemuan dengan bank-bank,
saat ini masih menerapkan sistem manual dalam rangka pelaporan transaksi yang
mencurigakan.
Kendala
lain yang dihadapi oleh BI dan bank-bank adalah belum adanya sosialisasi UU No.
15 tahun 2002 dan PBI tentang KYC kepada seluruh masyarakat khususnya pengguna
jasa perbankan. Berdasarkan laporan dari perbankan bahwa saat ini bank
menghadapi kesulitan dalam meminta kelengkapan data nasabah yang telah ada
(existing customer) dan calon nasabah. Hal ini mengingat banyak nasabah yang
tidak mengetahui adanya peraturan demikian. Oleh karena itu diperlukan
sosialisasi kepada seluruh masyarakat mengenai UU dan peraturan dimaksud. Bank
Indonesia sendiri telah melakukan sosialisasi kepada perbankan dan penegak
hukum mengenai UU No. 15 tahun 2002 dan Peraturan Bank Indonesia tentang KYC.
Namun sosialisasi dimaksud masih terbatas.
Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi yang menyeluruh kepada
masyarakat mengenai UU dan PBI tentang KYC.
5. DAMPAK DAN KAITAN UU TENTANG TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG DENGAN PBI TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL
NASABAH
Terdapat
beberapa dampak yang mungkin timbul dengan adanya UU Money Laundering dan
Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (PBI).
Pertama
diperlukan adanya kesiapan mental, pengetahuan, sistem pengenalan nasabah,
sistem pelaporan dan arsip, ketrampilan dan pengamanan bagi kalangan perbankan
untuk melaksanakan UU dan Peraturan Bank Indonesia ini. Hal ini perlu dimiliki bank, karena seluruh
kegiatan usaha bank yang dahulu “halal” atau “sah” dapat menjadi “tidak halal”
atau “tidak sah” apabila ada kaitan dengan upaya untuk mengaburkan dan
menyembunyikan uang hasil tindak pidana. Di samping itu, mengingat money
laundering paling banyak dilakukan melalui jasa-jasa perbankan, maka sudah
tentu industri perbankan akan sangat terpengaruh oleh UU Money Laundering dan industri perbankan
sangat berperan di dalam pencegahan money laundering. Jangan sampai reputasi bank menjadi rusak
atau pegawai bank menjadi korban karena dituduh ikut membantu mengaburkan atau
menyembunyikan asal usul uang hasil tindak pidana.
Kedua,
diperlukan adanya perubahan budaya dan mental masyarakat. Sebagaimana diketahui UU Tindak Pidana Money Laundering dan PBI mewajibkan nasabah
untuk memberikan keterangan yang benar dan lengkap mengenai identitas diri
termasuk informasi mengenai maksud dan tujuan hubungan usaha dengan bank serta
sumber dana kepada bank, serta adanya kewajiban bagi bank untuk melaporkan
transaksi dalam jumah tertentu dan transaksi yang mencurigakan. Mengingat hal ini belum terbiasa dilakukan,
maka perlu adanya penyuluhan yang memadai kepada masyarakat mengenai hal ini.
Ketiga,
adanya beban biaya yang lebih besar yang ditanggung bank. Hal ini disebabkan adanya beberapa hal yang
wajib dilakukan atau dimiliki bank seperti melakukan identifikasi nasabah,
pelaporan dan pemeliharaan sistem arsip, internal control, pelatihan dan pengamanan
yang perlu dilakukan oleh bank untuk melaksanakan ketentuan Money Laundering
ini.
Keempat,
secara teoritis ketentuan Money
Laundering dapat mengakibatkan pelarian dana ke luar negeri atau menyimpan
uangnya di bawah bantal. Hal ini sedikit
kemungkinan terjadi, karena di luar negeri mereka akan menemui ketentuan yang
hampir sama dan pelarian modal ke luar negeri tampaknya sudah pernah terjadi
beberapa waktu yang lalu, sehingga uang yang akan dilarikan sudah tidak banyak
lagi. Sementara menyimpan uang di bawah
bantal jelas kurang aman dan tidak menguntungkan secara ekonomis.
Kelima,
perlu adanya penyesuaian beberapa UU yang terkait, seperti UU Perbankan, UU
Pasar Modal khususnya yang berkaitan dengan ketentuan kerahasiaan.
Keenam,
bank harus mengubah caranya beroperasi agar
terhindar dari penyalahgunaan oleh penjahat dan terhindar juga dari
hukuman pidana. Diharapkan dengan menerapkan ketentuan Money Laundering, bank dapat lebih mampu
menghindari melakukan transaksi dengan nasabah dan atau transaksi yang ada
kaitan dengan kejahatan pencucian uang sehingga risiko yang mungkin timbul bagi
bank dapat diminimalkan.
Dengan
diberlakukannya UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang maka diharapkan akan
terjadi kualitas keseragaman kualitas pelaksanaan penerapan prinsip mengenal
nasabah pada seluruh penyedia jasa keuangan, khususnya pada seluruh perbankan
nasional serta komitmen dan pandangan yang sama dari perbankan dan nasabah
terhadap pentingnya penerapan ketentuan anti money laundering.
Dari
uraian di atas, maka UU No. 15 tahun 2002 mengatur kegiatan pencucian uang
sebagai suatu tindak pidana serta sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak
pidana tersebut. Dalam UU tsb juga diatur kewajiban penyedia jasa keuangan
dalam pelaporan transaksi keuangan. Pengertian penyedia jasa keuangan adalah
setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga
pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan
perusahaan asuransi. Dengan demikian maka kewajiban pelaporan disampaikan tidak
hanya oleh bank namun oleh juga penyedia jasa keuangan lainnya. Sedangkan PBI
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah mengatur penerapan prinsip KYC di
perbankan serta kewajiban bank dalam kaitannya dengan penerapan prinsip
dimaksud. PBI ini menetapkan sanksi
administratif bagi bank yang melanggar ketentuan dimaksud. Meskipun sanksi yang
diterapkan bersifat administratif namun sanksi dimaksud sangat memberatkan
bank, mengingat sanksi administratif tersebut adalah berdasarkan Pasal 52 ayat
2 UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
10 tahun 1998 dan sanksi denda. Sanksi tersebut misalnya berupa, pencantuman
pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang
perbankan; penurunan tingkat kesehatan
bank; pembekuan kegiatan usaha tertentu.
Harapan
kami semua dengan adanya UU tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang serta Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip KYC
maka sistem hukum akan diperkuat khususnya dalam bidang penegakan hukum tindak
pidana pencucian uang. Penerapan prinsip KYC yang didukung dengan adanya
kriminalisasi terhadap kegiatan pencucian uang tentunya akan membuat takut para
pelaku kejahatan pencucian uang untuk melakukan pencucian uang di Indonesia.
Disamping itu adanya kedua peraturan tersebut serta implementasi yang baik akan
mempengaruhi dunia internasional dalam menilai kondisi sistem keuangan dan
perbankan di Indonesia, khususnya penilaian dari Financial Action Task Force
yang telah mengkategorikan Indonesia ke dalam Non Cooperative Countries and
Territorries (NCCTs).
6. PELAKSANAAN
UU NO. 15 TAHUN 2002 DALAM MEMBANTU UPAYA MEMERANGI TERORISME
Paska
kejadian 11 September 2001 telah membawa pengaruh yang besar bagi upaya
memerangi terorisme. Pemerintah AS telah mengeluarkan Patriot Act yang
mewajibkan bank bank di AS yang memiliki hubungan korespenden dengan bank-bank
di negara lain untuk meminta pernyataan dari bank-bank di negara lain tersebut
bahwa bank dimaksud tidak memelihara rekening shell company serta tidak
dimiliki oleh shell company.
Berkaitan
dengan berlakunya UU No. 15 tahun 2002 maka kegiatan terorisme dapat diperangi
dengan memutus sumber pendanaan yang diperoleh dari hasil kegiatan terorisme.
Terdapat suatu dorongan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang
agar asalusul sumber dana kegiatan dimaksud tidak dapat dilacak. Dalam Pasal 2
disebutkan bahwa hasil kejahatan terorisme adalah termasuk hasil tindak pidana
yang merupakan sumber tindak pidana pencucian uang (predicate crimes). Dengan kewajiban nasabah menyampaikan
identitas
yang lengkap dalam membuka rekening di penyedia jasa keuangan termasuk
informasi mengenai sumber dana maka mempermudah bankmemantau transaksi nasabah
yang tidak sesuai dengan karakteristik dan profil nasabah. Apabila nasabah merasa tidak convenience
dengan permintaan data dimaksud maka tentunya nasabah dimaksud tidak akan
melakukan
transaksi atau menyimpan uangnya pada bank dimaksud.
Disamping
itu dengan kewajiban bank melaporkan transaksi dalam jumlah tertentu serta
transaksi yang mencurigakan maka dapat mempermudah aparat penegak hukum
menyelidikikasus tindak pidana terorisme dibalik kasus pencucian uang
dimaksud. Karena dengan sistem informasi
nasabah yang dimiliki oleh bank maka setiap transaksi yang mencurigakan yang
merupakan kegiatan pencucian uang akan dilaporkan kepada penegak hukum. Selanjutnya
penegak hukum akan melakukan penyidikan bahkan dapat pula melakukan pemblokiran
dan penyitaan rekening yang dicurigai tersebut.
Dengan
demikian apabila aliran sumber dana diputus pada sistem perbankan, diharapkan
organisasi kejahatan terorisme lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang
aktivitasnya dan menjadi berhenti karena tidak ada dana yang membiayai kegiatan
dimaksud.
7. PENUTUP
Perkembangan
teknologi dan globalisasi di sektor perbankan telah mendorong dijadikannya bank
sebagai sarana dalam kegiatan pencucian uang. Akibatnya bank dapat menghadapi
berbagai risiko perbankan, yaitu risiko reputasi, risiko operasional, risiko
hukum, dan risiko konsentrasi yang terkait dengan sisi aktiva dan pasiva bank.
Guna mencegah pemanfaatan bank sebagai sarana kegiatan pencucian, maka bank
perlu menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles), yang
merupakan rekomendasi dari Financial Action Task Force dan the Basel
Committee. Diharapkan dengan keberadaan
UU. Tindak Pidana Money Laundering dan Peraturan Bank Indonesia tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah maka dapat mencegah kegiatan pencucian uang,
khususnya yang menggunakan sarana perbankan. Disamping itu keberadaan ketentuan dimaksud diharapkan
dapat memerangi tindak pidana yang merupakan sumber dana pencucian uang,
misalnya terorisme. Industri perbankan diharapkan bukan lagi digunakan sebagai
sarana untuk berkembangnya kegiatan pencucian uang. Terlebih lagi kepentingan
Indonesia terjamin lebih baik dan dalam pergaulan internasional dapat diterima
dengan baik, sehingga pemulihan krisis ekonomi di Indonesia dapat berjalan
dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
3 komentar:
PT.COME BEST WAHANA INDUSTRI INDONESIA DI DESERANG BANTEN DIDUGA PENCUCIAN UANG
PT.COME BEST WAHANA INDUSTRI INDONESIA DI DESERANG BANTEN DIDUGA PENCUCIAN UANG
Sangat membantu
Posting Komentar