KETATANEGARAAN INDONESIA
PADA MASA BERLAKUNYA UUDS 1950
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Konstitusi
Semesrter VI, Non-Reguler
Dosen : H.E Hidayat,SH.,MH
SEKOLAH
TINGGI HUKUM GALUNGGUNG
TASIKMALAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada waktu berlakunya Konstitusi
Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara penyelenggaraan
pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem
Pertanggungjawaban Menteri).
Berdasarkan maklumat pemerintah
tanggal 3 November 1945, maka timbullah partai-partai politik yang jumlahnya sangat
banyak, yakni 28 partai. Pemilu thn. 1955 diadakan 2 kali yaitu :
1. Pemilu I, tanggal 19 September
1955 untuk memilih anggota parlementer (DPR).
2. Pemilu II, tanggal 15 Desember
1955 untuk memilih anggota konstituante.
Sistem Kabinet Parlementer pada masa
berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana
mestinya, sebab belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum,
sedangkan pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet
Parlementer baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan
Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan umum tahun 1955 tersebut
Badan Konstituante bertugas
membentuk UUD yang baru.dalam menjalankan tugas badan konstituante tidak pernah
membuahkan hasil, padahal kondisi negara dalam keadaan yang memprihatinkan.
Berdasarkan keadaan darurat luar
biasa ini demi persatuan, kesatuan dan stabilitas nasional presiden Soekarno
mengeluarkan “Dekrit Presiden 5 Juli 1959” yang isinya:
1. Pembubaran
Badan Konstituante
2. Berlaku
kembali UUD 1945 dan tidak memberlakukan UUDS
3. Pembentukan
MPR dan DPAS
Pada masa UUDS 1950 (17 Agustus
1950-5 Juli 1959) terjadi sebuah dinamika politik dan hukum di Indonesia.
Setelah terjadi perubahan UUD di Indonesia dari UUD 1945, kemudian diganti
dengan UUD RIS (pada masa pergantian RI menjadi RIS), setelah itu diganti
dengan UUDS 1950.
Meninjau lebih dalam tentang lembaga
negara yang ada pada masa UUDS 1950 dengan sebuah tinjauan yuridis. Karena kita
akan berbicara tentang lembaga negara pada tataran yuridis, bukan dari segi
politik. Diakui atau tidak kita tidak bisa memisahkan antara politik dan hukum.
Akan tetapi, nampaknya terkadang kita harus sedikit lebih tegas dalam mengambil
sebuah benang merah. Saling berkaitan, berhubungan dan saling mendukung tentu
saja ada. Meski demikian, konsentrasi kita adalah menilik UUDS 1950 dari segi
yuridis, aturan hukumnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sistematika UUDS 1950 ?
2.
Bagaimana bentuk negara pada masa
UUDS 1950 ?
3.
Bagaimana bentuk pemerintahan pada
masa UUDS 1950 ?
4.
Bagaimana sistem pemerintahan pada
masa UUDS 1950 ?
5.
Faktor
apa saja yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa
demokrasi liberal ?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah yang kami buat
ini adalah agar mahasiswa dan mahasiswi serta instansi lain dapat :
1. Mengetahui
sistematika UUDS 1950.
2. Mengetahui
bentuk negara pada masa UUDS 1950.
3. Mengetahui
lembaga bentuk pemerintahan pada masa UUDS 1950
4. Mengetahui
sistem pemerintahan pada masa UUDS 1950
5. Mengetahui
faktor yang menyebabkan seringnya
terjadi pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistematika
UUDS 1950
UUDS 1950 merupakan undang-undang
sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan
undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali
UUD 1945.
Sistematika UUDS 1950, adalah
sebagai berikut:
a. Mukaddimah,terdiri
dari empat alinea ( berbeda rumusannya, baik dengan UUD 1945 maupun Konstitusi
RIS 1949, serta rumusan dasar Negara terdapat dalam alinea IV dengan rumusan
yang berbeda dengan UUD 1945 ).
b. Batang
Tubuh, terdiri dari enam bab, dan 146 pasal.
Dalam
UUDS 1950 tidak terdapat bagian penjelasan.
Dalam
mukaddimah UUDS 1950 teradapat rumusan dan sistematika dasar Negara Pancasila
yang sama dengan yang tercantum dalam konstitusi RIS, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial
B.
Bentuk
Negara
Bentuk negara yang dikehendaki
oleh UUDS tahun 1950 ialah negara kesatuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dalam mukaddimah alinea IV UUDS 1950 yang berbunyi: …Kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik
kesatuan,… Selain itu, diperkuat dalam Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950 yang
menyebutkan:…Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan…
Ciri negara kesatuan
adalah tidak ada negara dalam negara dan pemerintah pusat mempunyai kedaulatan
ke luar dan ke dalam dengan sistem desentralisasi. Hal ini sesuai amanat Pasal
131 Ayat (1) UUDS 1950 yang menyatakan bahwa :…Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), dan bentuk susunan
pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat
dasae permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara…
C. Bentuk
Pemerintahan
Bentuk pemerintahan adalah republik sesuai dengan
Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat (1) UUDS 1950. Bentuk pemerintahan yang
dipraktikkan sebagai berikut :
a.
Presiden
sebagai kepala Negara yang dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil
presiden ( Pasal 45 Ayat 1 dan 2 ).
b.
Proses
pemilihan presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang,
sedangkan untuk pertama kali wakil presiden diangkat oleh presiden ( Pasal 45
Ayat 3 dan 4 ).
D. Sistem
Pemerintahan
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia
adalah sistem pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ). Sistem pemerintahan tersebut mirip sengan
sistem pemerintahan Konstitusi RIS 1949. Dalam praktik penyelenggaraan sistem
pemerintahan, terdapat alat-alat kelengkapan negara sebagaimana tercantum dalam
Pasal 44 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.
Presiden
dan wakil presiden.
2.
Menteri-menteri.
3.
Dewan
Perwakilan Rakyat.
4.
Mahkamah
Agung.
5.
Dewan
Pengawas Keuangan.
Berdasarkan UUDS
1950, sistem pemerintahan seharusnya bersumber pada demokrasi Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUDS 1950. Namun, dalam pelaksanaanya,
demokrasi yang dipraktikan adalah demokrasi liberal, karena berlaku sistem
multipartai. Apalagi setelah hasil pemilu tahun 1955, tidak ada satupun partai
yang menang dan mendapat kursi mayoritas ( 51% ) di parlemen, sehungga
pemerintahan mengalami ketidakstabilan politik. Hal ini dapat terlihat dengan
sering jatuhnya kabinr dalam periode ini, yaitu dalam kurun waktu tahun 1950
s/d 1959. Berikut kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu.
1.
Kabinet
Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 )
Kabinet Natsir merupakan suatu Zaken Kabinet, intinya adalah
Partai Masyumi. Kabinet ini menyerahkan mandatnya tanggal 21 Maret 1951,
setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara.
Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang
mendapat kritikan dari partai oposisi.
2. Kabinet Sukiman
( 27 April 1951- 3 April 1952 )
Kabinet
Sukiman merupakan koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman
muncul berbagai gangguan keamanan, misalnya DI/TII semakin meluas dan Republik
Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh karena kebijakan politik luar negerinya
diangap condong ke Serikat. Pada tanggal 15 Januari 1952 diadakan
penandatanganan Mutual Security Act (MSA). Perjanjian ini berisi kerja sama
keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
3. Kabinet
Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953 )
Kabinet
Wilopo didukung oleh PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya
adalah peningkatan kesejahteraan umum. Peristiwa penting yang terjadi semasa
pemerintahannya adalah peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa.
Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan
Darat yang dipimpin Nasution, agar DPR Sementara dibubarkan diganti dengan
parlemen baru. Sedang Peristiwa Tanjung Morawa (Sumatra Timur) mencakup
persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat
yang mengakibatkan beberapa petani tewas.
4. Kabinet
Ali Sastroamijoyo I ( 30 Juli 1953-12 Agustus 1955 )
Kabinet
ini dikenal dengan Kabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro).
Prestasi yang dicapai adalah terlaksananya Konferensi di Bandung 18-24 April
1955.
5. Kabinet
Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956 )
Kabinet
ini dipimpin oleh Burhanudin Harahap dengan inti Masyumi. Keberhasilan yang
diraih adalah menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955. Karena terjadi mutasi
di beberapa kementerian, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap
menyerahkan mandatnya.
6. Kabinet
Ali Sastroamijoyo II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957 )
Program
Kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun. Program ini memuat masalah jangka
panjang, misalnya perjuangan mengembalikan Irian Barat. Muncul semangat anti-
Cina dan kekacauan di daerah-daerah sehingga menyebabkan kabinet goyah.
Akhirnya pada Maret 1957, Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
7.
Kabinet Djuanda
( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 )
Kabinet Djuanda
sering dikatakan sebagai Zaken Kabinet, karena para menterinya merupakan ahli
dan pakar di bidangnya masing-masing. Tugas Kabinet Djuanda melanjutkan
perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan
yang buruk. Prestasi yang diraih adalah berhasil menetapkan lebar wilayah
Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan
titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Ketetapan ini dikenal sebagai Deklarasi
Djuanda. Kabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Untuk lebih jelas
tentang praktik penyelenggaran sistem pemerintahan berdasarkan UUDS 1950 dapat
terlihat pada ciri-ciri sistem
pemerintahan pada waktu itu, yaitu sebagai berikut :
1.
Sebagai
kepala negara, presiden dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh wakil
presiden (Pasal 45 Ayat 1 dan 2. Seharusnya, tidak ada wakil presiden ).
2.
Presiden
dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat ( Pasal 83 Ayar 1 ).
3.
Kekuasaan
legislatif dipegang oleh pemerintah
bersama DPR ( Pasal 89 ), dan DPR berhak mengajukan usul perubahan
undang-undang ( Pasal 90 Ayat 2 ).
4.
DPR
dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya dan
sebagai imbalannya presiden berhak membubarkan DPR ( Pasal 69 Ayat 2, Pasal 83,
dan Pasal 84 ).
5.
Perdana
menteri diangkat oleh presiden ( Seharusnya oleh Parlemen ) dengan membentuk
formatur melalui keputusan presiden, begitu juga dengan penghentiannya ( Pasal
51 Ayat 2,4 dan 5 ).
6.
Presiden
dan wakil presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (Pasal
45, Pasal 46 Ayat 1 dan Pasal 50 ). Seharusnya terpisah antara presiden sebagai
kepala negara dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
7.
Kekuasaan
perdana menteri masih dicampurtangani oleh presiden ( Pasal 52 Ayat 2 ).
Seharusnya, presiden tidak terlibat dalam kepemerintahan.
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950
bersifat sementara. Sifar kesementaraan ini Nampak dalam rumusan Pasal 134 yang
menyatakan bahwa “ Konstituante ( Lembaga Pembuat UUD ) bersama-sama pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS
ini “. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955
dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun Konstituante telah bekerja
kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil
menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah
adanya pertentangan pendapat diantara partai-partai politik di badan
konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden
Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945.
Pada dasarnya saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh
para anggota Konstituante, tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda.
Oleh karena tidak memperoleh kata
sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah tiga kali diadakan
pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden
tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang
hadir.
Kegagalan
Konstituante untuk menetapkan rancangan UUD membuat keadaan politik dalam
negeri Indonesia berada dalam ancaman. Ancaman
yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam situasi ini, dengan situasi tersebut pada tanggal
5 Juli 1959 Presiden Soekarno membacakan dekritnya, yang dikenal dengan Dekrit
5 Juli 1959.
Isi Dekrit 5 Juli
1959 adalah:
1.
Membubarkan
Konstutuante.
2.
Memberlakukan
kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan tidak berlakunya lagi UUD sementara tahun 1950.
3.
Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
E. Faktor
Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi
Liberal
Pada tahun 1950, setelah
unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana
dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri
langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari
kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari:
1.
Masyumi (49 kursi).
2.
PNI (36 kursi),
3.
PSI (17 kursi).
4.
PKI (13 kursi)
5.
Partai Katholik (9 kursi).
6.
Partai Kristen (5 kursi), dan
7.
Murba (4 kursi),
sedangkan
sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun
dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.
Ini merupakan suatu struktur yang
tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya
diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila
pemilihan umum dilaksanakan.
Selama kurun waktu 1950-1959 sering
kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen
mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai
yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Soekarno
selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para
formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali
melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
Kabinet Koalisi yang diharapkan
dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di
parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan
antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para
formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini,
Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat
bergantung pada basis dukungan di parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh
bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam
pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu
meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan
pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950
dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9
tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi
Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945.
Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi
pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur;
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran
Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
Pelaksanaan demokrasi terpimpin
dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta
merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi
Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal
berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.
Latar
Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
1. Undang-undang
Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat
sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan
demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat
Indonesia.
2. Kegagalan
konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa
Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum
yang mantap.
3. Situasi
politik yang kacau dan semakin buruk.
4. Terjadinya
sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan
menjurus menuju gerakan sparatisme.
5. Konflik
antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
6. Banyaknya
partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk
7. Masing-masing
partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan
partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka
presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959
sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan
dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan
masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.
Reaksi
dengan adanya Dekrit Presiden:
1. Rakyat
menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang
telah goyah selama masa Liberal.
2. Mahkamah
Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
3. KSAD
meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit
Presiden.
4. DPR
pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan
UUD 1945.
Dampak
positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah
sebagai berikut:
1. Menyelamatkan
negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
2. Memberikan
pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
3. Merintis
pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara
berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak
negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah
sebagai berikut:
1.
Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. UUD 1945 yang harusnya menjadi dasar hukum
konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka.
2.
Memberi kekuasaan yang besar pada
presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi
terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
3.
Memberi peluang bagi militer untuk
terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat
menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde
Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
F.
Komentar
Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer
1.
Kelebihan
:
a.
Pembuatan
kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif.
b.
Garis
tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.
Adanya
pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi
berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d.
Tumbuh demokrasi dengan sistem multipartai, sehingga aspirasi
rakyat memungkinkan tersalurkan.
e.
Mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis.
f.
Mampu menggalang dukungan internasional guna memperjuangkan
bangsa Asia-Afrika yang terjajah melalui KAA di Bandung.
2.
Kekurangan
:
a.
Kedudukan
badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlementer.
b.
Kelangsungan
kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan, karena
sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh kabinet.
c.
Kabinet
dapat mengendalikan parlemen, hal ini terjadi bila para anggota parlemen dan
berasal dari partai mayoritas, karena pengaruh mereka yang besar di parlemen
dan partai, serta anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen.
d.
Parlemen
menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
e.
Sistem multipartai berdampak pada mendominasinya kepentingan
partai politik, sehingga timbul berbagai pemberontakan yang mempengaruhi
stabilitas politik.
f.
Tidak terdapat partai yang menang mayoritas sehingga
mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahan.
g.
Kebijakan pembangunan nasioanl yang tidak berjalan, sehingga
pembangunan ekonomi praktis belum dirasakan sebagian besar masyarakat.
Perbedaan sistem
pemerintahan antara Konstitusi RIS 1945 dengan UUDS 1950 :
1.
Konstitusi
RIS 1949:
a.
Tidak
terdapat mosi tidak percaya yang dilakukan perlemen.
b.
Mempunyai
alat kelengkapan negara: Presiden, Menteri-menteri, Senat, DPR, MAI dan DPK.
c.
Kabinet
tidak mempunyai hubungan erat dengan parlemen.
2.
UUDS
1950 :
a.
Terdapat
mosi tidak percaya yang dilakukan oleh perlemen (DPR ).
b.
Mempunyai
alat kelengkapan negara : Presiden dan wakil presiden, Menteri-menteri, DPR, MA
dan DPK.
c.
Kabinet
mempunyai hubungan erat dengan parlemen ( DPR ).
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
UUDS 1950 merupakan undang-undang
sementara setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan
undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali
UUD 1945.
Sistematika UUDS 1950, adalah
sebagai berikut: Mukaddimah terdiri dari empat alinea,Batang Tubuh terdiri dari
enam bab dan 146 pasal.Dalam UUDS 1950 tidak terdapat bagian penjelasan.
Bentuk negara yang di kehendaki oleh UUDS
tahun 1950 ialah negara kesatuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam
mukaddimah alinea IV UUDS 1950
Bentuk
pemerintahan adalah republik sesuai dengan Mukadimah alinea IV dan Pasal 1 Ayat
(1) UUDS 1950
Berdasarkan UUDS 1950, sistem pemerintahan Indonesia
adalah sistem pemerintahan parlementer yang semu ( quasi parlementer ), alat-alat kelengkapan negara sebagaimana
tercantum dalam Pasal 44 UUDS 1950 sebagai berikut :
1.
Presiden
dan wakil presiden.
2.
Menteri-menteri.
3.
Dewan
Perwakilan Rakyat.
4.
Mahkamah
Agung.
5.
Dewan
Pengawas Keuangan
Dalam kurun waktu
tahun 1950 s/d 1959. Berikut kabinet-kabinet yang pernah ada pada waktu itu.
1.
Kabinet
Natsir ( 6 September 1950 – 27 April 1951 )
2. Kabinet
Sukiman (27 April 1951- 3 April 1952)
3. Kabinet
Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953)
4. Kabinet
Ali Sastroamijoyo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955)
5. Kabinet
Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)
6. Kabinet
Ali Sastroamijoyo II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957)
7. Kabinet
Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Isi Dekrit 5 Juli
1959 adalah:
1.
Membubarkan
Konstutuante.
2.
Memberlakukan
kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan tidak berlakunya lagi UUD sementara tahun 1950.
3.
Membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer
1.
Kelebihan
:
a.
Pembuatan
kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian
pendapat antara eksekutif dan legislatif.
b.
Garis
tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.
Adanya
pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi
berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
d.
Tumbuh demokrasi dengan sistem multipartai, sehingga aspirasi
rakyat memungkinkan tersalurkan.
e.
Mampu menyelenggarakan pemilu yang demokratis.
f.
Mampu menggalang dukungan internasional guna memperjuangkan
bangsa Asia-Afrika yang terjajah melalui KAA di Bandung.
2.
Kekurangan
:
a.
Kedudukan
badan eksekutif atau kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlementer.
b.
Kelangsungan
kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan, karena
sewaktu-waktu dapat dibubarkan oleh kabinet.
c.
Kabinet
dapat mengendalikan parlemen, hal ini terjadi bila para anggota parlemen dan
berasal dari partai mayoritas, karena pengaruh mereka yang besar di parlemen
dan partai, serta anggota kabinet pun dapat menguasai parlemen.
d.
Parlemen
menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
e.
Sistem multipartai berdampak pada mendominasinya kepentingan
partai politik, sehingga timbul berbagai pemberontakan yang mempengaruhi
stabilitas politik.
f.
Tidak terdapat partai yang menang mayoritas sehingga
mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahan.
g.
Kebijakan pembangunan nasioanl yang tidak berjalan, sehingga
pembangunan ekonomi praktis belum dirasakan sebagian besar masyarakat.